Minggu, 12 Mei 2013

Omma, Na Saranghae

Musim semi di Korea baru saja dimulai, udara begitu segar dan langit cerah bertabur awan tipis yang bergerak manja. Bunga-bunga mulai bermekaran satu-satu seperti hendak menciptakan suatu harmonisisasi alam yang begitu damai.

Tak seperti kebanyakan orang yang menyambut musim semi dengan segala keceriaan dan bertabur acara penyambutan yang luar biasa, gadis kecil itu justru melamun didekat jendela kamarnya, seakan melupakan segala keindahan dan pesona Tulip Festival, atau Cherry Blossom Festival di Sintanjin,Yeouido dan di Danau Daecheonghosu yang sering dikatakan banyak orang bahwa pada saat itu Korea menjadi negara seribu bunga Rasanya semua orang akan mengatakan kata yang sama Hangukeboom gyejeol, musim semi di Korea. Matanya nanar memandang jauh keluarjendela.



Berkali-kali ayahnya menyuruhnya untuk makan, tetapi rasa lapar itu tak juga memaksa sang gadis untuk menyantap makanan yang telah disediakan oleh pembantunya yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidurnya. Wajahnya sendu, ada bulir-bulir kristal yang perlahan menganak sungai di pipinya yang putih.
Sesaat gadis itu tersadar dari lamunan panjangnya, ia menyeret kakinya menuju tempat tidur. Hari ini ia merasa lelah, bisa dikatakan juga kesal dengan segala keadaan yang terjadi dalam hidupnya. Sering kali hatinya bertanya mengapa Tuhan begitu kejam menyingkirkan keindahan dalam hidupnya. Padahal permintaannya hanya kecil, ia hanya ingin sekali lagi saja mengecap keindahan seperti yang dulu walau mungkin keindahan ini pun hanya sesaat. Tetapi semua itu hanya mimpi yang tak mungkin terkabul. Gadis kecil itu menguap dan tertidur dengan mata sembab.

***
Pagi yang cerah dengan langit biru yang begitu anggun menggantung di langit Korea.Musim semi kali ini adalah musim semi terbaik yang pernah aku rasakan. Seperti banyak keluarga lain di kota ini, aku dan keluarga kecilku juga ikut merasakan kebahagian menyambutnya. Sudah tradisi dalam tiap musim semi, biasanya banyak keluarga yang berbondong-bondong menikmatinya. Musim ini adalah musim piknik keluarga bagi masyarakat Korea, tak terkecuali keluargaku.

Keluargaku memilih piknik ke Sintanjin, karena kami memang tinggal di kota ini. Liburan hemat dengan tidak jauh-jauh dari rumah. Tepatnya di depan KT & G Building perusahaan rokok dan gingseng terbesar di Korea Selatan tujuan liburan kami kali ini. Ketika kami datang, peduduk setempat sudah banyak yang berdatangan dengan keluarga mereka. Ayah telah menggelar tikar, ibu mempersiapkan makanan, sementara aku asik menikmati keindahan bunga Cherry. Aku berlari kecil menikmati terowongan panjang yang ditanami 100 batang pohon Cherry yang berjejer rapi.

“Omma, adakah yang paling indah dari musim semi ketika semua bunga bermekaran” tanya gadis kecil itu pada ibunya

Dibelainya rambut gadis kecilnya penuh sayang, seraya tersenyum dan menjawab pertanya ananaknya “Bagi ibu kaulah yang terindah”

“Benarkah?”

“Benar sayang” jawab sang ibu sambil mencium keningnya

“Kalau menurut Appa, kebahagian itu seperti apa? Gantian gadis kecil itu bertanya pada ayahnya

“Kebahagian bagi ayah adalah memiliki kalian dan melihat kalian bahagia”

“Bagiku kalian adalah cinta yang tak tergantikan dengan apa pun. Cinta sejati yang lahir dari kebersamaan keluarga ini. Cinta dimana tidak ada batas penghalang. Saat ini cinta ini kian tumbuh menyertaiku” kemudian gadis kecil itu memeluk ayah dan ibunya secara bergantian

Matahari mulai naik, keluarga Kim Shue merayakan musim semi tahun itu penuh dengan kegembiraan. Santap siang diawali dengan tradisi minum teh mereka lakukan. Sesekali mereka tertawa dan saling bercengkrama. Ternyata pilihan piknik keluarga kali ini tidaklah buruk, banyak keindahan yang bisa memanjakkan mata ketika melihat bunga-bunga bermekaran. Bertemu dan saling sapa dengan orang-orang yang juga piknik disini. Anak-anak riang bermain dengan sesamanya. Sesekali terlihat sepasang muda-mudi yang berjalan bergandengan tangan seolah dunia adalah milikmereka sendiri.

***
Musim semi kali ini sungguh hal yang membuatku sangat terpukul, bagaimana tidak, ibu yang selama ini aku anggap sebagai perempuan terkuat yang pernah aku kenal, perempuan yang tak kenal rasa sakit, perempuan yang selama dalam hidupnya selalu menjaga kebersihan. Bahkan kepadaku pun ibu selalu cerewet hanya gara-gara bajuku terkena noda setelah aku bermain, meskipun hanya sedikit noda. Aku harus berusaha tegar menerima kenyataan, baru saja kemarin kami menikmati piknik bersama menikmati keindahan musim semi, tetapi siang ini ketika aku masih sekolah, tiba-tiba paman Heujung menjemputku. Lantas membawaku ketempat terkutuk ini, tempatnya orang-orang sakit. Dan ibuku saat ini terbaring lemah, selang infus telah menusuk kulit tangannya yang lembut.

Berkali-kaliaku bertanya pada ayah tentang kenapa dan sakit apa yang tiba-tiba menyerang ibu. Ayah hanya berkata ibu baik-baik saja dan akan kembali kerumah secepatnya.Tetapi hari demi hari sampai musim semi hampir berakhir kondisi ibu tidak semakin baik. Berkali-kali ibu mengigau tanpa aku atau ayah mengerti apa yangibu ucapkan. Mata ibu terbelalak suatu ketika, seperti melihat sesuatu dan tubuhnya bergetar hebat. Aku sendiri menggigil melihat keadaan ibu seperti itu,tanpa terasa ada bulir-bulir hangat yang keluar dari ekor mataku. Ayah begitutegar menghadapi ini semua, meskipun aku tahu hati ayah juga menangis.

Aku menangis memeluk ibu, tubuhnya dingin. Nafasnya sedikit teratur dan mencoba menatap aku dan ayah secara bergantian. Airmatanya menetes deras, tangannya bergerak perlahan menunjuk kearah selang nafas yang menutupi mulutnya. Ayah dengan cepat membantu ibu melepaskan selang nafas dari mulut ibu.

Tiba-tiba dengan lirih ibu berujar kepadaku “Kim Soyou, jadi anak yang baik yah”

Hatiku tertohok sembilu, perih rasanya mendengar apa yang barusan ibu ucapkan.Tiba-tiba saja hidungku tersumbat dan aku tak mampu menahan gemuruh yang begitu dahsyat hadir di dadaku.

“Ayah,ikhlaskan aku pergi yah”

“Waeyo, jangan ngomong seperti itu? Apa kau tidak sayang sama aku? Ingat anak kita masih kecil, masih ingin dibesarkan dan dimanja oleh kita berdua”  bibir ayah bergetar saat mengucapkan kata Waeyo, panggilan sayang seorang suami terhadap istrinya.

Ah,ayah. Matanya semerah saga. Suaranya serak seperti orang yang terkena radang parah saat mengucapkan semuanya kepada ibu. Aku tak mampu lagi membendung airmata. Ibu menatapku dan ayah tajam, butiran kristal luruh satu-satu dari bening matanya.

“Ibu sayang kalian. Kalian adalah cintaku. Apa pun yang terjadi kalian adalah belahan jiwaku. Sungguh ibu tidak tahan dengan keadaan seperti ini, musim semikali ini bagiku adalah yang paling indah dan paling membekas dalam hatiku, jadi mungkin.....................” suara ibu tersendat dan terbata-bata seperti ada benda berat yang menutup pita suaranya.

Aku merasa ketakutan, aku belum siap kehilangan orang yang paling kucintai. Aku tidak tahu hidupku nantinya bila tidak ada ibu yang menemani hari-hariku. Aku masih ingin mengecap keindahan bersama ibu, belum puas rasanya aku dimanja olehnya atau nanti aku akan begitu rindu dengan omelan-omelannya yang menegurku bila aku tidak menuruti nasihatnya. Ah ibu, benarkah telapak kakimu ada surga? Bila memang benar ada, ingin rasanya saat ini juga aku memasukinya dan menemui tuhan serta memohon agar tuhan tidak memanggil ibu cepat-cepat. Dan ayah,meskipun beliau laki-laki yang tegar tetapi aku yakin perasaannya tidak jauh berbeda denganku saat ini. Sama-sama tidak mau kehilangan orang yang telah menemani hidupnya, kehilangan orang yang sangat dicintainya.

Tuhan, sungguh aku belum ikhlas menerima semua ini.

***
Senja baru saja menyapa Korea, gadis kecil itu menoleh keluar ruangan lewat jendela rumahnya. Satu dua bunga Cherry dan Mongalia gugur. Matanya nanar memandang langit merah saga. Sesekali dia terseyum memandang langit. Dalam khayalannya, dia menemukan sketsa wajah yang lama dia rindukan. Sketsa wajah itu tersenyum memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang rata, senyum terindah yang pernah ditemukan sebelumnya. Sekejap senyumnya hilang bersama hilangnya sketsa wajah yang dia lihat di langit senja yang mulai menghitam. Hari telah berganti,tetapi gadis itu masih saja betah berdiri di pinggir jendela kamarnya.  Dia menikmati sentuhan angin musim semi yang membelai lembut wajahnya dan memainkan ekor rambutnya yang panjang.
Diatas sana, langit Korea menghitam meski seluruh lampu warna-warni menyala dikota itu, bintang-bintang bersembunyi enggan menampakkan kerlipnya dan rembulan mungkin menggigil kedinginan sebab matahari tak membagi sinarnya. Dilihatnya diluar jendela sana, dalam imanjinasinya, bunga-bunga cherry kembali berguguran secara serentak yang menandakan musim semi telah berakhir. Sama seperti dulu ketika ibunya pergi meninggalkannnya dalam kesendirian. Terkadang dia bertanya,masihkah ada harapan buatnya? Masihkah dentum bunga-bunga musim semi kelak akan memberikan kebahagiannya lagi?. Malas memikirkan itu semua gadis itu beranjak menuju ke pembaringannya, dia berharap mimpi yang indah dan selamanya tak ingin terbangun dari mimpinya itu.

Aku tidak pernah lagi mau peduli dengan yang namanya musim semi dengan segala keindahannya. Bagiku musim semi tahun ini atau musim semi tahun-tahun berikutnya adalah sama yaitu kesepian. Kesepiany ang meraja, tidak ada lagi kasih sayang yang tercurah kepadaku meskipun kasihs ayang ayah yang diberikan kepadaku adalah kasih yang terbaik dan tanpa batas,tetapi bagiku masih kurang tanpa kasih sayang seorang ibu.

***

Kenalkan namaku Kim Soyou, lahir di tengah keluarga kecil yang bahagia, ah tidak juga,tepatnya bahagia itu ternyata terenggut dariku ketika aku berumur 10 tahun. Karena Omma yang telah melahirkanku ke dunia ini pergi selamanya di penghujung musim semi yang indah. Appa akhirnya bercerita tentang penyebab kematian ibuku waktuitu. Ayah mengatakan ibu terkena kanker otak stadium empat, kanker itu telah menyebar dan ibu tidak bisa diselamatkan. Belakang aku baru menyadari tentang mengapa ibu sering sekali mengeluh tentang sakit kepala. Hampir tiap hari ibu merasa pusing, tetapi tiap kali ibu ditanya ayah atau aku mengapa sering sakit kepala, ibu selalu bilang ia tidak apa-apa. Ternyata tidak. Sakit kepala yangibu rasakan berkali-kali itu adalah cikal bakal kanker yang pada akhrinya merenggut jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar