Perjalanan
Pertama Hafidz Firstian Sanur
Minggu, 27
September 2015
Matahari siang
itu menunjukkan kedigdayaannya, musim kemarau sepertinya masih ingin terus
bertahta. Meski beberapa hari ini mendung terkadang menggelayut seram di langit
dunia, tapi toh hujan belum turun juga. Mengikuti keiinginan isteri dan anak
kami yang hampir menginjak usia 2 tahun yang ingin mencoba menaiki kereta api,
hari ini aku menepati janji kepada anak isteri untuk melakukan perjalanan
Kotabumi – Bandar Lampung menggunakan jalur kereta api.
Suasana stasiun
tampak ramai dengan penumpang yang hendak melakukan perjalanan yang sama menuju
Bandar Lampung, sebelumnya aku telah membeli tiket kereta api yang terbilang
murah yaitu Rp. 10.000,- dibandingkan harus naik bus yang harga tiketnya Rp.
23.000,-. Bergegas aku mengajak anak isteri menuju stasiun berharap nanti
mendapatkan tempat duduk, soalnya saat ini entah mengapa, pihak PT. KAI
khususnya rute Kotabumi – Bandar Lampung yang hendak menggunakan Kereta Api
KRL, diberlakukan sistem tidak ada nomor tempat duduk. Sehingga yang terjadi
adalah ketika penumpang yang hendak turun dari arah Bandar Lampung – Kotabumi harus
saling tabrakan dengan penumpang yang dari Kotabumi – Bandar Lampung yang
berebut untuk mendapatkan tempat duduk.
Aku, Isteri dan
Hafidz termasuk penumpang yang tidak dapat bangku tempat duduk. Banyak juga
penumpang lain yang ternyata bernasib sama dengan kami yaitu tidak mendapatkan
tempat duduk. Ada penumpang yang berdiri, bersender diantara bangku-bangku yang
telah terisi, ada juga yang duduk di bawah dekat pintu masuk beralaskan Koran. Kami
pun berinisiatif sama dengan penumpang lain dengan menggelar Koran dan duduk
dekat pintu masuk atau keluar meski hal ini menurutku sangatlah berbahaya,
karena apabila kita lengah atau lupa dengan sengaja atau tidak sengaja
bersender di pintu tersebut kita bias celaka, karena sewaktu-waktu ketika
kereta api berhenti dari stasiun satu kestasiun lainnya pintu itu terbuka dan
tertutup secara otomatis.
“Kuuuungggggg,
kunggggg, jesssss, jesssss” suara hafidz yang menirukan suara kereta api ketika
melaju di atas rel, dengan bibir yang sedikit dimonyongkkan.
Ahhhhh, melihat
wajah polos yang tengah berbahagia itu, aku terenyuh ketika mendapati keadaan
yang ternyata kami sekeluarga tidak bisa duduk di bangku yang ada, padahal
tepat di hadapan kami, ada dua orang laki-laki gagah yang ngerasa nikmat sekali
mendapatkan kursi tempat duduk yang nyaman dan empuk itu. Mereka sama sekali
tidak terusik dan tidak mempunyai rasa empati melihat seorang ibu yang memangku
anak balitanya duduk di bawah beralaskan selembar kertas Koran yang berada
tepat di hadapan mereka.
Namanya anak
kecil, mereka tidak tahu menahu tentang semua hal yang ada di sekitarnya.
Hafidz dengan segala keluguannya tetap merasa senang dan bahagia mendapati
dirinya saat ini sedang berada diatas kereta api yang berjalan, mungkin di hati
dan pikirannya berkata “Alhamdulillah,
akhirnya aku naik kereta api juga setelah berkali-kali hanya bisa melihat dan
melambaikan tangan ketika kereta api lewat saja”
Allah SWT
ternyata sangatlah sayang dan cinta kepada seorang ibu dan anak bayi yang ada
dalam pangkuan ibunya. Ketika kami bertiga tengah asik bercanda sambil tetap
mengawasi si kecil Hafidz yang teramat senang dengan pengalaman pertamanya kali
ini, dari arah yang kami tidak tahu sebelumnya, seorang mahasiswi berkerudung putih,
berjaket biru dan bercelana panjang warna gelap dating menghampiri kami dan
menyapa,
“Aihhhh adik
pintar, kasihan amat duduk di bawah”
Hafidz yang
ditegur tidak menghiraukannya, dia masih asyik jelalatan menyapu pemandangan
yang terlihat dari kaca-kaca jendela kereta api.
“Iya nih mbak,
kebetulan kami tidak dapat tempat duduk, kalah berebut dengan yang lain”
seloroh isteriku
“Oh kebetulan
disebelahku ada satu bangku kosong, kalau mau mba dan anaknya bisa duduk, tapi
ya bapaknya gak bisa ikutan duduk” Mbak berjilbab putih itu menawarkan kepada
isteriku
Tanpa pikir
panjang dan menunggu suara isteriku terlontar, dengan cepat aku menyambut
tawaran si mbak berjilabab putih tersebut “oiya mba gak apa-apa, biarkan anak
dan isteriku saja yang duduk”
Bergegas kami
bertiga membuntuti mbak berjilbab putih yang menawarkan satu bangku kosong
untuk duduk anak dan isteriku. Alhamdulillah, puji Tuhan dengan segala
kebenaran perkataan-Nya. Allah selalu melibatkan kemudahan disetiap kesulitan
hamba-Nya. Ternyata masih ada orang yang perduli dengan sesama, sempat su’udzhon
dengan dua laki-laki gagah yang duduk pas di depan kami yang seolah-olah tidak
terganggu dengan pemandangan yang ada di depan matanya.
Luar biasa
senangnya si hafidz mendapatkan tempat duduk, isteriku pun ikut senang melihat
buah hati kami yang terlihat lebih hidup dan makin lincah berbisa ini itu
dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu. Sementara aku tetap berdiri, untuk
menghilangkan penat aku berjalan ketempat kami tadi duduk menggelar tikar yang
kebetulan hanya berjarak 5 bangku saja. Saat itu mataku tertuju pada 4 orang
anak muda yang masih dibilang unyu-unyu (memakai bahasa anak alay), tampilan
mereka berbeda dengan sekitar tempat duduk mereka. 3 orang laki-laki dan 1
orang perempuan. Anak perempuan ini menggunakan gamis dan jilbab senada
warnanya yaitu coklat muda dan mengenakan kacamata, yang membuatku kagum adalah
dia menggenggam kitab Al-Qur’an berwarna gold, anak perempuan ini duduk bersama
seorang anak yang kira-kira usianya 11 tahun. Di depan mereka saling
berhadap-hadapan yang tidak mendapatkan tempat duduk, mereka berdiri diantara
tiang pintu masuk atau keluar. 1 anak laki-laki berpeci putih, berjaket hitam
dan berkulit sawo matang usianya sekitar 11 atau 12 tahuanan dan yang terakhir anak
laki-laki berkulit putih dan mengenakan baju koko berwarna putih berpadu padan
dengan warna merah pasta dan good looking. Usianya sekitar 14 tahunan. Nah dengan
anak yang satu inilah akhirnya aku banyak ngobrol berbagai hal.
Namanya UmarKhalid Asadani, usut punya usut setelah banyak berbicara kepadanya dan sedikit
bicara dengan ketiga teman lainnya, ternyata mereka adalah saudaraan/sepupu dan
antara anak perempuan berjilbab coklat muda dengan anak laki-laki berpeci putih
adalah saudara kandung. Subhanallah lagi ternyata mereka semua adalah hafidz
dan hafidzoh. Anak perempuan berjilbab coklat muda sudah hapal 18 Juz Al – Qur’an,
sementara adik kandungnya yaitu anak laki-laki berpeci putih dan sepupunya yang
duduk sebelahan dengannya sudah hapal 8 Juz Al – Qur’an dan paling spektakuler
dan Subhanallah sekali adalah ternyata anak laki-laki yang banyak berbicara
denganku yaitu Umar Khalid Asadani sudah hapal 30 Juz Al – Qur’an.
Subhanallah, aku
hanya bisa diam, iri, sekaligus merasa minder diri. JLEB, tetiba rohku rasanya
menghilang sesaat, bagaimana tidak di usiaku yang saat ini sudah menginjak
kepala 3, meski aku terbilang pandai membaca Al – Qur’an, tetapi 1 juz pun aku
tak hapal. Hanya beberapa surat saja yang kuhapal. Alahmak, senang sekali bisa
berkenalan dengan anak-anak muda yang luar biasa seperti mereka. Umar banyak
cerita tentang dirinya, awalnya keingiinan orang tuanyalah yang menginginkan
dirinya untuk bisa menjadi seorang Hafidz, terbebani sekali awal-awal
menghapal. Tetapi pada akhirnya jalan menuju seorang Hafidz menjadi kemauannya
sendiri, Alhamdulillah setelah bertekad kuat, kini dia hapal 30 Juz Al – Qur’an.
Mereka empat bersaudara tersebut sekolah di Darul Huffaz bertempat di Jl. Raya Bernung No. 36 RT.01 RW.01 Desa Bernung Kecamatan
Gedongtataan - Pesawaran.
Mendengar
tempat tersebut, ingatanku melayang sekitar kurang lebih 15 tahun yang lalu,
sekitar tahun 2000-an, satu malam aku pernah minep di pondok pesantren yang
banyak mencetak generasi Qur’ani tersebut. Temanku yang bernama Adri Ubaidillah
pada saat itu masuk pondok pesantren tersebut. Aku pernah sekali diajaknya
bermalam di pondok pesantran Darul Huffaz, nuansa pesantren tersebut begitu
sejuk. Santrinya bangun sekitar jam 3 subuh untuk melakukan sholat malam dan
menghapal Al Qur’an. Aku yang pada saat itu masih awam sangatlah terkesima
dengan pola yang ada di pondok pesantren, rasanya bau surga tercium dari situ.
Allah,
ketika niatan itu masih melekat dalam dada, aku berharap masih bisa menghapal
firman-firman-Mu. Latar belakang aku menamai anak laki-lakiku yang pertama
yaitu Hafidz Firstian Sanur adalah keinginan terbesarku kelak anakku juga bisa
menjadi generasi Qur’ani.
Hafidz
Firstian Sanur kelak adalah seorang yang hapal 30 Juz Al-Qur’an dan menjadi
generasi Qur’an terbaik sehingga mampu memberikan cahaya di sekelilingnya, Ya
Rabb kabulkanlah…….
Kotabumi,
29 September 2015
Seperti nya aku mengenal nama itu (umar khalid asadani) dia hafiz alquran dr pesantren darul hufaz, ibu nya seorang ustadzah dan alm. Ayah nya adalah guru agama di sekolah ku dulu,
BalasHapusCeritanya sangat menarik..
Iya bener mba
Hapus