Selasa, 29 September 2015

CATATAN PERJALANAN PART I : Perjalanan Pertama Hafidz Firstian Sanur

Perjalanan Pertama Hafidz Firstian Sanur

Minggu, 27 September 2015

Matahari siang itu menunjukkan kedigdayaannya, musim kemarau sepertinya masih ingin terus bertahta. Meski beberapa hari ini mendung terkadang menggelayut seram di langit dunia, tapi toh hujan belum turun juga. Mengikuti keiinginan isteri dan anak kami yang hampir menginjak usia 2 tahun yang ingin mencoba menaiki kereta api, hari ini aku menepati janji kepada anak isteri untuk melakukan perjalanan Kotabumi – Bandar Lampung menggunakan jalur kereta api.


Suasana stasiun tampak ramai dengan penumpang yang hendak melakukan perjalanan yang sama menuju Bandar Lampung, sebelumnya aku telah membeli tiket kereta api yang terbilang murah yaitu Rp. 10.000,- dibandingkan harus naik bus yang harga tiketnya Rp. 23.000,-. Bergegas aku mengajak anak isteri menuju stasiun berharap nanti mendapatkan tempat duduk, soalnya saat ini entah mengapa, pihak PT. KAI khususnya rute Kotabumi – Bandar Lampung yang hendak menggunakan Kereta Api KRL, diberlakukan sistem tidak ada nomor tempat duduk. Sehingga yang terjadi adalah ketika penumpang yang hendak turun dari arah Bandar Lampung – Kotabumi harus saling tabrakan dengan penumpang yang dari Kotabumi – Bandar Lampung yang berebut untuk mendapatkan tempat duduk.

Aku, Isteri dan Hafidz termasuk penumpang yang tidak dapat bangku tempat duduk. Banyak juga penumpang lain yang ternyata bernasib sama dengan kami yaitu tidak mendapatkan tempat duduk. Ada penumpang yang berdiri, bersender diantara bangku-bangku yang telah terisi, ada juga yang duduk di bawah dekat pintu masuk beralaskan Koran. Kami pun berinisiatif sama dengan penumpang lain dengan menggelar Koran dan duduk dekat pintu masuk atau keluar meski hal ini menurutku sangatlah berbahaya, karena apabila kita lengah atau lupa dengan sengaja atau tidak sengaja bersender di pintu tersebut kita bias celaka, karena sewaktu-waktu ketika kereta api berhenti dari stasiun satu kestasiun lainnya pintu itu terbuka dan tertutup secara otomatis.

“Kuuuungggggg, kunggggg, jesssss, jesssss” suara hafidz yang menirukan suara kereta api ketika melaju di atas rel, dengan bibir yang sedikit dimonyongkkan.

Ahhhhh, melihat wajah polos yang tengah berbahagia itu, aku terenyuh ketika mendapati keadaan yang ternyata kami sekeluarga tidak bisa duduk di bangku yang ada, padahal tepat di hadapan kami, ada dua orang laki-laki gagah yang ngerasa nikmat sekali mendapatkan kursi tempat duduk yang nyaman dan empuk itu. Mereka sama sekali tidak terusik dan tidak mempunyai rasa empati melihat seorang ibu yang memangku anak balitanya duduk di bawah beralaskan selembar kertas Koran yang berada tepat di hadapan mereka.
Namanya anak kecil, mereka tidak tahu menahu tentang semua hal yang ada di sekitarnya. Hafidz dengan segala keluguannya tetap merasa senang dan bahagia mendapati dirinya saat ini sedang berada diatas kereta api yang berjalan, mungkin di hati dan pikirannya berkata “Alhamdulillah, akhirnya aku naik kereta api juga setelah berkali-kali hanya bisa melihat dan melambaikan tangan ketika kereta api lewat saja” 

Allah SWT ternyata sangatlah sayang dan cinta kepada seorang ibu dan anak bayi yang ada dalam pangkuan ibunya. Ketika kami bertiga tengah asik bercanda sambil tetap mengawasi si kecil Hafidz yang teramat senang dengan pengalaman pertamanya kali ini, dari arah yang kami tidak tahu sebelumnya, seorang mahasiswi berkerudung putih, berjaket biru dan bercelana panjang warna gelap dating menghampiri kami dan menyapa,

“Aihhhh adik pintar, kasihan amat duduk di bawah”

Hafidz yang ditegur tidak menghiraukannya, dia masih asyik jelalatan menyapu pemandangan yang terlihat dari kaca-kaca jendela kereta api.

“Iya nih mbak, kebetulan kami tidak dapat tempat duduk, kalah berebut dengan yang lain” seloroh isteriku

“Oh kebetulan disebelahku ada satu bangku kosong, kalau mau mba dan anaknya bisa duduk, tapi ya bapaknya gak bisa ikutan duduk” Mbak berjilbab putih itu menawarkan kepada isteriku

Tanpa pikir panjang dan menunggu suara isteriku terlontar, dengan cepat aku menyambut tawaran si mbak berjilabab putih tersebut “oiya mba gak apa-apa, biarkan anak dan isteriku saja yang duduk”

Bergegas kami bertiga membuntuti mbak berjilbab putih yang menawarkan satu bangku kosong untuk duduk anak dan isteriku. Alhamdulillah, puji Tuhan dengan segala kebenaran perkataan-Nya. Allah selalu melibatkan kemudahan disetiap kesulitan hamba-Nya. Ternyata masih ada orang yang perduli dengan sesama, sempat su’udzhon dengan dua laki-laki gagah yang duduk pas di depan kami yang seolah-olah tidak terganggu dengan pemandangan yang ada di depan matanya.

Luar biasa senangnya si hafidz mendapatkan tempat duduk, isteriku pun ikut senang melihat buah hati kami yang terlihat lebih hidup dan makin lincah berbisa ini itu dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu. Sementara aku tetap berdiri, untuk menghilangkan penat aku berjalan ketempat kami tadi duduk menggelar tikar yang kebetulan hanya berjarak 5 bangku saja. Saat itu mataku tertuju pada 4 orang anak muda yang masih dibilang unyu-unyu (memakai bahasa anak alay), tampilan mereka berbeda dengan sekitar tempat duduk mereka. 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Anak perempuan ini menggunakan gamis dan jilbab senada warnanya yaitu coklat muda dan mengenakan kacamata, yang membuatku kagum adalah dia menggenggam kitab Al-Qur’an berwarna gold, anak perempuan ini duduk bersama seorang anak yang kira-kira usianya 11 tahun. Di depan mereka saling berhadap-hadapan yang tidak mendapatkan tempat duduk, mereka berdiri diantara tiang pintu masuk atau keluar. 1 anak laki-laki berpeci putih, berjaket hitam dan berkulit sawo matang usianya sekitar 11 atau 12 tahuanan dan yang terakhir anak laki-laki berkulit putih dan mengenakan baju koko berwarna putih berpadu padan dengan warna merah pasta dan good looking. Usianya sekitar 14 tahunan. Nah dengan anak yang satu inilah akhirnya aku banyak ngobrol berbagai hal.

Namanya UmarKhalid Asadani, usut punya usut setelah banyak berbicara kepadanya dan sedikit bicara dengan ketiga teman lainnya, ternyata mereka adalah saudaraan/sepupu dan antara anak perempuan berjilbab coklat muda dengan anak laki-laki berpeci putih adalah saudara kandung. Subhanallah lagi ternyata mereka semua adalah hafidz dan hafidzoh. Anak perempuan berjilbab coklat muda sudah hapal 18 Juz Al – Qur’an, sementara adik kandungnya yaitu anak laki-laki berpeci putih dan sepupunya yang duduk sebelahan dengannya sudah hapal 8 Juz Al – Qur’an dan paling spektakuler dan Subhanallah sekali adalah ternyata anak laki-laki yang banyak berbicara denganku yaitu Umar Khalid Asadani sudah hapal 30 Juz Al – Qur’an.
Subhanallah, aku hanya bisa diam, iri, sekaligus merasa minder diri. JLEB, tetiba rohku rasanya menghilang sesaat, bagaimana tidak di usiaku yang saat ini sudah menginjak kepala 3, meski aku terbilang pandai membaca Al – Qur’an, tetapi 1 juz pun aku tak hapal. Hanya beberapa surat saja yang kuhapal. Alahmak, senang sekali bisa berkenalan dengan anak-anak muda yang luar biasa seperti mereka. Umar banyak cerita tentang dirinya, awalnya keingiinan orang tuanyalah yang menginginkan dirinya untuk bisa menjadi seorang Hafidz, terbebani sekali awal-awal menghapal. Tetapi pada akhirnya jalan menuju seorang Hafidz menjadi kemauannya sendiri, Alhamdulillah setelah bertekad kuat, kini dia hapal 30 Juz Al – Qur’an. Mereka empat bersaudara tersebut sekolah di Darul Huffaz bertempat di Jl. Raya Bernung No. 36 RT.01 RW.01 Desa Bernung Kecamatan Gedongtataan - Pesawaran.

Mendengar tempat tersebut, ingatanku melayang sekitar kurang lebih 15 tahun yang lalu, sekitar tahun 2000-an, satu malam aku pernah minep di pondok pesantren yang banyak mencetak generasi Qur’ani tersebut. Temanku yang bernama Adri Ubaidillah pada saat itu masuk pondok pesantren tersebut. Aku pernah sekali diajaknya bermalam di pondok pesantran Darul Huffaz, nuansa pesantren tersebut begitu sejuk. Santrinya bangun sekitar jam 3 subuh untuk melakukan sholat malam dan menghapal Al Qur’an. Aku yang pada saat itu masih awam sangatlah terkesima dengan pola yang ada di pondok pesantren, rasanya bau surga tercium dari situ.

Allah, ketika niatan itu masih melekat dalam dada, aku berharap masih bisa menghapal firman-firman-Mu. Latar belakang aku menamai anak laki-lakiku yang pertama yaitu Hafidz Firstian Sanur adalah keinginan terbesarku kelak anakku juga bisa menjadi generasi Qur’ani.

Hafidz Firstian Sanur kelak adalah seorang yang hapal 30 Juz Al-Qur’an dan menjadi generasi Qur’an terbaik sehingga mampu memberikan cahaya di sekelilingnya, Ya Rabb kabulkanlah…….

Kotabumi, 29 September 2015

2 komentar:

  1. Seperti nya aku mengenal nama itu (umar khalid asadani) dia hafiz alquran dr pesantren darul hufaz, ibu nya seorang ustadzah dan alm. Ayah nya adalah guru agama di sekolah ku dulu,
    Ceritanya sangat menarik..

    BalasHapus