Selasa, 17 Desember 2013

Resensi Buku : Menghidupkan Kembali Buya Hamka





Judul           : Ayah...Kisah Buya Hamka
Pengarang    : Irfan Hamka
ISBN            : 978-602-8997-71-3
Terbit          : Jakarta, 2013 
Halaman     : xxviii+321 Halaman
Harga        : Rp. 49000,-
Berat         : 250 gram
Dimensi     : 13.5 X 20.5 Cm
Cover        : Soft Cover


Menghidupkan Kembali Buya Hamka

Mendengar nama Haji Abdul Malik Amrullah Karim mungkin sebagian orang tidaklah mengenal siapa beliau, tetapi bila mendengar nama Buya Hamka pasti hampir semua orang mengetahui beliau. Buya Hamka adalah nama populer sebagai ulama, sastrawan, budayawan, dan politisi.  Bahkan sebagai Pahlawan Revolusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2011. Meskipun beliau secara formal mengenyam pendidikan Sekolah Desa (setara Sekolah Dasar) dan itu pun tidak tamat, tetapi segudang prestasi yang sungguh prestisius pernah diperolehnya.

Selama hidupnya beliau telah menghasilkan sekitar 118 karya tulisan berupa artikel dan buku. Beberapa buku karyanya sangat fenomenal dan masih bisa kita nikmati hingga sekarang. Bahkan dua karya sastra beliau yaitu novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” telah diangakat ke layar lembar. Prestasi yang paling membanggakan (menurut penulis, red) adalah ketika beliau menyelesaikan Tafsir Al Azhar meskipun pada saat itu beliau dalam penjara.



Membaca buku berjudul “Ayah” yang ditulis oleh anak kelima dari Buya Hamka yaitu Irfan Hamka seperti kita ikut hidup dan merasakan bagaimana keseharian Buya Hamka dari masa kanak, masa muda, masa dewasa hingga ajal menjemputnya. Kita juga akan mengetahui bagaimana sepak terjang Buya Hamka sebagai kepala rumah tangga, ulama, sastrawan sekaligus sebagai politikus handal. Penulis begitu piawai menceritakan detail sosok Buya Hamka.

Buku ini juga menjadi semacam memoar hidupnya Buya Hamka. Banyak hikmah yang bisa kita ambil dalam buku ini. Perjuangan hidup Buya Hamka tidaklah mudah. Dari kecil beliau sudah ditempa untuk hidup mandiri. Lahir dari keluarga broken home tidak menjadikan beliau putus asa. Hinaan dan cemoohan orang kepadanya diterima dengan ikhlas. Jiwa muda dan semangat yang terus berkobar dalam jiwa mudanya membawa Buya Hamka berkelana menuntut ilmu jauh dari tanah kelahirannya, bahkan ketika umur belum genap 18 tahun beliau menuntut ilmu hingga ke tanah suci Mekkah.

Perjuangannya untuk Indonesia juga tidaklah kecil. Beliau menghimpun pemuda-pemuda untuk menghalau Belanda yang pada saat itu menjajah Indonesia. Pantang menyerah meskipun semua itu tak mudah.

Buya Hamka seorang yang berjiwa besar dan pemaaf

Soekarno pernah memenjarakan beliau selama dua tahun empat bulan atas tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No. 11 tahun 1964 – 1966 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno, meskipun sampai saat ini tuduhan itu tidak terbukti.  Namun dengan kelapangan hati dan jiwa besarnya, ketika Soekarno wafat, beliau tetap mau menjalankan permintaan terakhir Soekarno yaitu menjadi imam sholat jenazahnya.

Ketika itu Buya Hamka ditanya “Apakah Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama di penjara?” (hal 257)

“Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya di tahan, saya merasakan semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu”  Buya Hamka menjawab (hal 257)

Mr. Moh. Yamin sangat terkejut mendengar pernyataan Buya Hamka dalam sidang sebagai berikut “Bila Negara kita ini mengambil dasar Negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju ke neraka” (Hal 259)
Mr. Moh. Yamin sebagai seorang anggota konstituante dari fraksi PNI pada saat itu marah besar mendengar pidato politik Buya Hamka hingga sangat membenci Buya Hamka. Tetapi ketika sakaratul maut hendak menjemput,  Mr. Moh. Yamin mengutus Chaerul Saleh (Salah satu menteri di Kabinet Soekarno waktu itu) menjemput beliau agar mau ikut ke rumah sakit dimana Mr. Moh. Yamin dirawat dan  untuk menyampaikan pesannya kepada Buya Hamka

“Begini Buya. Yang sangat merisaukan Pak Yamin adalah, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tak dikunjunginya. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi, kampung halamannya tidak berkenan menerima jenazahnya. Karena ketika terjadi pergolakan di Sumatera Barat dahulu, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan wilayah NKRI. Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahat” (hal 260-261).

Dengan jiwa berlapang dada dan tidak pernah mengingat pertikaian yang pernah terjadi, Beliau menuruti semua pesan Mr. Moh. Yamin hingga ke liang lahat.

Dalam jagat sastra pun beliau tidak luput dari cobaan. Ki Panji Kusmin dan Pramoedya Ananta Toer pernah memfitnah bahwa karya tulis Buya Hamka yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” adalah plagiat. Buya Hamka dituding mencuri karangan asli dari pengarang Prancis yaitu Alvonso Care.

Mengetahui dirinya telah di fitnah berbulan-bulan lamanya, ternyata Buya Hamka tenang-tenang saja dalam mengahadapi tudingan yang dialamatkan untuknya. Bahkan ketika Pramoedya Ananta Toer mengirimkan anak dan calon menantunya yang non islam agar di islamkan oleh Buya Hamka. Buya Hamka masih menerima dan tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadap beliau.

Pernyataan Pramoedya bahkan mengejutkan banyak orang “Masalah faham kami tetap beda. Saya ingin putrid saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka” (Hal 265)

Dalam buku ini juga penulis menghadirkan cerita-cerita tentang Buya Hamka yang memberikan kebaikan dan nasehat-nasehat kepada tetangga atau orang yang datang langsung ke rumah beliau. Ada cerita horror ketika Buya Hamka berdialog dengan Jin penunggu rumah yang baru ditempatkan oleh keluarga Buya Hamka. Pengalaman yang mengerikan dialami Buya Hamka dari Baghdad menuju Mekkah yaitu mengahadapi angin topan pasir, sopir tertidur dalam kecepatan yang tinggi dan hantaman air bah. Juga kisah-kisah menarik yang dapat kita ambil hikmahnya.

Sebagai orang yang pernah membaca buku ini, saya sangat menyarankan untuk pembaca lain membaca kisah yang penuh hikmah dan inspirasi ini. Wallahu.

Kotabumi, 17 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar