Minggu, 18 Agustus 2013

Tamu Kejutan



Tamu Kejutan

Langit cerah di kotaku. Matahari meraja dengan sinarnya. Minggu yang indah. Aku mengunjungi rumah Emak sekaligus melihat kondisi keponakanku yang sedang sakit. Alhamdulillah sakitnya berkurang. Siang terus merambat pasti bersama waktu yang kian menjadikan matahari meninggi tepat di atas kepala. Adzhan dhuhur sebentar lagi berkumandang. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan bunyi handphone tanda ada yang memanggil. Ternyata istriku. Istriku bilang bahwa ada tamu seorang ibu-ibu mencariku. Aneh, sejak kapan aku berkenalan dengan ibu-ibu. Istriku bilang, ibu itu cerita bahwa aku dulu sering makan siang di rumahnya. Aku memutar memori otakku, mencari-cari file yang mungkin berisi sepenggal cerita masa lalu saat aku sering berkunjung kerumah teman-temanku. Nihil. Agaknya panas siang ini membuat otakku mencair hingga aku tak bisa mengingat hal itu. Dengan cepat aku menjawab bahwa aku akan pulang sebentar lagi.


Wanita berumur sekitar lima puluh tahunan itu duduk di ruang tamu ditemani istri dan mertuaku. Mengenakan kerudung putih dan berbaju gamis hijau muda. Kerutan di wajahnya menandakan bahwa dia sedang lelah. Wanita itu ibu dari seorang temanku. Dulu ketika masih sekolah menengah aku memang sering berkunjung kerumahnya. Silaturahim itu terus terjaga hingga kini, meski kini aku jarang sekali bisa mengunjunginya. Wanita paruh baya ini memiliki empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Ketiga anaknya sudah menikah kecuali anak laki-lakinya yang bungsu. Dengan cepat aku menyalaminya, sekaligus mengucapkan maaf lahir batin karena saat ini masih nuansa syawal dan kebetulan juga aku belum sempat berkunjung kerumahnya lebaran ini.  Cepat kusalami tangan beliau.

Sambil beramah tamah, aku dan istriku mengajaknya untuk makan siang bersama kami. Tetapi dengan sopan dia menolak ajakan kami. Sesekali dia menyeruput teh hangat yang telah dihidangkan sebelumnya oleh istriku. Tanpa basa-basi sang ibu menyeritakan maksud kedatangannya ke rumah mertuaku siang ini. Dia bermaksud untuk meminjam sejumlah uang denganku. Hatiku ngenes. Peluh meluncur dengan bebas dari dahiku. Bila membicarakan soal uang, aku selalu tak bisa menjawab.

Si Reza (sebut saja begitu namanya) anak bungsunya yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren yang banyak menelurkan orang-orang hebat di negeri ini, juga tempat salah satusetting cerita sebuah novel yang menyeritakan perjuangan seorang anak kampung dari ranah minang yang ingin menaklukkan dunia, tepatnya pondok pesantren itu berada di Jawa Timur. Saat ini anak bungsunya itu sedang membutuhkan biaya untuk bayar angsuran. Uang yang ada di sang ibu masih belum cukup untuk menutupi biaya yang harus dikirimkan untuk anak bungsunya itu. Ingin meminta kepada anak-anaknya yang lain, beliau berkata bahwa menantu  anak keduanya kemarin baru saja  melahirkan dengan cara Caesar hingga mengeluarkan banyak biaya, dengan anak pertamanya dia enggan meminta tanpa alasan yang jelas dan yang terakhir dengan anaknya ketiga yaitu anak perempuan satu-satunya dia bilang tidak tega meminta dengan anaknya itu.

Hatiku pilu. Perjuangan seorang ibu demi menyekolahkan anak-anaknya, dia rela kesana kemari untuk mencukupi kebutuhan sang anak. Seorang ibu rela mengorbankan harga dirinya untuk bisa membahagiakan sang anak. Seorang ibu mampu mengeyampingkan rasa malu hanya demi anaknya. Seorang ibu juga rela berjalan kaki dari rumahnya menuju tempat dimana dia meminta bantuan. Ah, aku selalu menangis mengingat perjuangan seorang ibu. Entah siapa pun orang itu, yang penting dia seorang ibu yang memperjuangkan anak-anaknya, maka aku pasti menangis mendengarkan ceritanya. Seorang ibu yang tidak mau merepotkan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ibu temanku itu memohon untuk bisa pinjam sejumlah uang kepadaku. Uang pinjamannya itu akan dilunasinya setelah suaminya mendapatkan gaji pensiun. Ah, aku bimbang antara member atau tidak memberikan pinjaman kepadanya.  Akhirnya dengan berat hati aku berkata padanya bahwa aku tidak bisa meminjamkan uang. Kondisiku saat ini pun tidak mempunyai uang yang bisa digunakan untuk meminjamkan orang lain. Bila pun ada, uang itu guna keperluan keluarga kecilku selama sebulan. Berat sebenarnya harus kukatakan hal itu padanya. Jujur aku tidak tega melihat rona wajahnya yang tiba-tiba seperti diselimuti mendung, meski seutas senyum masih menghias di wajahnya.
Dengan lirih akhirnya ibu temanku itu memohon untuk bisa diantarkan pulang ke rumahnya. Aku yakin dia kecewa denganku. Harapannya dari rumah menemuiku tidak terkabul. Aku mengantarkannya pulang dengan mengendari sepeda motorku. Selama diperjalanan ibu temanku itu menceritakan banyak hal. Ah aku serba salah harus menceritakan apa padanya. Dia juga menitip pesan, jangan sampai anaknya yang nomor satu tahu bahwa ibunya pergi menemuiku hendak meminjam uang. Sesampainya di rumah teman ibuku aku langsung pamit. Aku salami tangannya dengan takjim dan sambil aku selipkan uang yang tidak seberapa padanya. Aku hanya bilang, ibu ini uang aku kasih buat ibu, bukan ibu pinjam. Ibu temanku hendak menolak pemberianku itu, tetapi tetap aku memaksa agar menerima. Gelembung kecil air matanya menggantung, senyum kecil nan bahagia itu mengembang sambil mengucapkan terima kasih padaku. Aku pamit dengan mengucapkan salam.

Kotabumi, 18 agustus 2013
Ya Allah berikanlah rejeki terbaik buat seluruh ibu yang memperjuangkan hidup anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar